TIMES BATAM, JAKARTA – Badan Pengkajian MPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Demokrasi Pancasila” di Bintaro, Tangerang Selatan, Rabu (5/11/2025). Kegiatan ini dibuka langsung oleh Ketua Badan Pengkajian MPR, Prof. Dr. Yasonna H. Laoly.
Dalam sambutannya, Yasonna menekankan pentingnya meninjau kembali pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam sistem Demokrasi Pancasila yang telah dijalankan lebih dari dua dekade pascareformasi. Ia mengingatkan, demokrasi sejatinya bukan hanya persoalan prosedur pemilihan umum, tetapi juga bagaimana kekuasaan negara tetap berpihak kepada rakyat.

“Demokrasi yang kita jalankan sejak reformasi adalah semangat utama perubahan konstitusi. Setelah lebih dari 20 tahun, sudah saatnya kita meninjau dan memperkuat kembali aspek-aspek yang esensial,” ujarnya.
Menurut Yasonna, penguatan perlindungan hak asasi manusia, pelembagaan demokrasi, serta keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara menjadi kunci dalam menjaga makna sejati kedaulatan rakyat. “Konstitusi jangan hanya dimaknai secara prosedural. Substansinya harus berpihak kepada rakyat,” tegasnya.
FGD ini dihadiri oleh sejumlah pimpinan dan anggota Badan Pengkajian MPR RI, antara lain Andreas Hugo Pareira, Ahmad Basarah, Firman Soebagyo, hingga Denty Eka Widi Pratiwi. Turut hadir pula Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah, Kepala Biro Pengkajian Konstitusi Heri Herawan, serta para pejabat dan staf Sekretariat Badan Pengkajian MPR.
Sesi diskusi menghadirkan tiga narasumber, yakni Guru Besar LSPR Prof. Dr. Lely Arrianie, Dosen FISIP UI Dr. Cecep Hidayat, dan Founder Drone Emprit Ismail Fahmi, Ph.D.
Demokrasi Pancasila: Lebih dari Sekadar Prosedur Pemilu
Guru Besar Komunikasi Politik LSPR Jakarta, Prof. Dr. Lely Arrianie, menegaskan bahwa kedaulatan rakyat dalam Demokrasi Pancasila tidak bisa dipahami hanya sebatas pemilihan umum. Menurutnya, sistem ini menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara serta menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat.
“Demokrasi Pancasila muncul sebagai antitesis dari demokrasi terpimpin. Esensinya adalah menegakkan hak hidup rakyat dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.
Lely juga menilai amandemen UUD 1945 telah membuka ruang adaptasi terhadap perubahan zaman, selama tetap berpijak pada nilai-nilai dasar Pancasila. Ia menyebut, demokrasi Pancasila mengandung tiga prinsip utama yang tak terpisahkan: hak asasi manusia, demokrasi substantif, dan keadilan sosial.
Demokrasi Prosedural Perlu Kembali ke Nilai Pancasila
Sementara itu, Dosen FISIP Universitas Indonesia, Dr. Cecep Hidayat, menilai praktik demokrasi di Indonesia masih terlalu menitikberatkan pada aspek prosedural. Nilai-nilai substansial seperti musyawarah, etika politik, dan keadilan sosial mulai terabaikan.
“Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Tapi pertanyaannya, apakah praktik kita saat ini masih mencerminkan nilai-nilai Pancasila?” ujarnya.
Cecep menegaskan, demokrasi Pancasila harus dimaknai lebih dari sekadar proses voting. Demokrasi ini harus mencakup musyawarah yang rasional dan partisipasi bermakna. Ia juga menyinggung data BPS 2024 yang menunjukkan Indeks Demokrasi Indonesia berada di angka 79,61, sementara Indeks Persepsi Korupsi hanya 34 dari 100. “Ini menggambarkan masih lemahnya etika dan institusi politik kita,” tambahnya.
Cecep juga menyoroti fenomena Gerakan 17+8 di media sosial yang mencerminkan kesadaran politik generasi muda di ruang digital. Namun, menurutnya, ruang digital juga perlu dikelola dengan nilai-nilai etika Pancasila agar tidak kehilangan arah.
Era Demokrasi Digital dan Tantangan Kedaulatan Publik
Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, Ph.D., memaparkan bahwa Indonesia kini memasuki era demokrasi digital. Partisipasi publik di media sosial meningkat, tetapi kepercayaan terhadap lembaga formal justru menurun.
“Sekarang publik lebih percaya timeline daripada parlemen. Pertanyaannya, ini tanda pencerahan atau krisis kepercayaan?” kata Ismail.
Ia mencontohkan fenomena Gerakan 17+8 dan penggunaan simbol warna seperti Brave Pink, Hero Green, dan Resistance Blue sebagai bentuk ekspresi solidaritas rakyat di dunia maya. Berdasarkan data yang dihimpun Drone Emprit, tercatat sekitar tujuh miliar interaksi digital terkait gerakan tersebut.
Namun, Ismail juga menyoroti lambatnya respons lembaga negara terhadap isu yang muncul di ruang digital. “Ketika muncul hoaks tentang DPR, klarifikasi seharusnya dilakukan cepat. Karena terlambat, narasi keliru justru terus berkembang,” ujarnya.
Ia menilai, pemerintah perlu memandang ruang digital sebagai Digital Civic Space—ruang musyawarah kebangsaan baru yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, bukan dengan pendekatan represif.
Penguatan Nilai Demokrasi Pancasila
FGD yang digelar Badan Pengkajian MPR ini menjadi forum penting untuk menyerap pandangan akademisi dan masyarakat dalam memperkuat penerapan nilai-nilai Pancasila di kehidupan demokrasi nasional.
“Melalui forum ini, kami berharap pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat berjalan sesuai amanat konstitusi dan semangat Pancasila,” kata Yasonna. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Yasonna Laoly: Demokrasi Harus Berpihak pada Rakyat, Bukan Sekadar Prosedur
| Pewarta | : Rochmat Shobirin |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |